Medan | GeberNews.com – Pengadilan Negeri (PN) Medan kembali melanjutkan persidangan Praperadilan (Prapid) yang diajukan oleh Dokter Paulus Yusnari Lian Saw. Sidang Prapid yang memasuki tahap ke-3 ini digelar di Ruang Sidang Cakra 6, Pengadilan Negeri Medan, pada Rabu (07/08/2024) pagi.
Sidang kali ini dipimpin oleh hakim ketua M. Nazir, SH., MH., yang bertindak sebagai pengganti hakim sebelumnya, Nani Sukmawati, SH., MH., yang sedang berhalangan karena sakit.
Dalam persidangan, tim kuasa hukum Dokter Paulus menghadirkan sejumlah bukti surat, dua saksi fakta, serta seorang ahli pidana forensik. Dr. Robintan Sulaiman, SH., MH., MA., MM., CLA., yang juga Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, hadir sebagai ahli pidana forensik dan memberikan keterangannya di hadapan hakim serta personil Polda Sumut.
Menjawab pertanyaan kuasa hukum, Robintan menegaskan bahwa dalam penetapan tersangka, tidak boleh ada asumsi atau penggunaan analogi yang tidak berdasar, dan prosedur hukum yang berlaku harus diikuti dengan ketat. Ia juga menekankan bahwa pemanggilan terhadap terlapor adalah bagian penting dari prosedur yang wajib dilakukan oleh penyidik Kepolisian.
“Terkait penetapan Dokter Paulus sebagai tersangka, semua prosedur harus dipenuhi. Jika tidak, maka itu merupakan mal administrasi dan tidak berkekuatan hukum,” ujar Robintan.
Tim kuasa hukum yang dipimpin oleh Mahmud Irsad Lubis, SH., mengungkapkan bahwa Dokter Paulus tidak pernah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), bahkan tidak pernah dipanggil sebagai terlapor. Namun, secara tiba-tiba, klien mereka ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sumut.
Menanggapi tuduhan terhadap Dokter Paulus terkait pengrusakan seng bekas di atas tanah miliknya, yang didakwakan dengan Pasal 406 KUHP oleh Polda Sumut, Robintan menjelaskan bahwa tindakan tersebut tidak memenuhi unsur pengrusakan sesuai dengan pasal tersebut. Ia menjelaskan bahwa pengrusakan hanya dapat terjadi jika objek yang dirusak tidak memiliki hubungan hukum dengan pelaku.
“Sebagai contoh, saya boleh merusak rumah saya sendiri, tetapi jika objeknya bukan milik saya, baru itu masuk dalam kategori Pasal 406 KUHP,” jelas Robintan, yang juga dikenal sebagai saksi ahli dalam kasus Ferdy Sambo.
Usai persidangan, Robintan kembali menekankan kepada media bahwa penetapan seseorang sebagai tersangka harus dilakukan sesuai prosedur yang ada dan tidak boleh ada yang dilangkahi. Ia juga mengkritisi tidak adanya upaya Restorative Justice (RJ) dari Polda Sumut terkait laporan Go Mei Siang yang menersangkakan Dokter Paulus.
“Seharusnya, kasus-kasus kecil seperti ini bisa diselesaikan dengan Restorative Justice, sebagaimana anjuran dari Kapolri,” ujarnya.
Di sisi lain, Mahmud, yang didampingi rekan-rekannya, Dr. Khomaini, SE., SH., MH., Iskandar, SH., Muhammad Nasir Pasaribu, SH., dan Ibrohimsyah, SH., menyatakan bahwa Polda Sumut terlalu tergesa-gesa dalam menetapkan klien mereka sebagai tersangka. Menurut Mahmud, tindakan penyidik Polda Sumut, khususnya Unit Kriminal Umum, sangat prematur karena tidak didahului dengan penyerahan SPDP, sebagaimana diamanatkan dalam Putusan MK No. 130 Tahun 2015, dan tanpa pemeriksaan sebagai calon tersangka, sebagaimana diamanatkan dalam Putusan MK No. 21 Tahun 2014.
“Tindakan-tindakan tersebut merupakan mal administrasi dan cacat hukum,” tegas Mahmud.
Mahmud berharap, dengan bukti-bukti yang telah disajikan, hakim Praperadilan dapat melihat dan mempertimbangkan untuk mengabulkan permohonan Prapid Dokter Paulus.
“Kami berharap hakim dapat memutus dan mengabulkan permohonan Prapid ini, sehingga penetapan tersangka atas Dokter Paulus dinyatakan batal demi hukum,” tutup Mahmud.
Dalam persidangan, kuasa hukum juga menyerahkan salinan putusan pengadilan yang baru-baru ini mengabulkan permohonan Prapid yang diajukan oleh Pegi Setiawan, yang sempat menjadi perbincangan publik.
(Tim)