

Medan | GeberNews.com – Kantor Gubernur Sumatera Utara kembali jadi sorotan. Wartawan yang menjalankan tugas jurnalistik justru dibatasi, bahkan dipagari untuk masuk ke ruang kerja Gubernur. Ironisnya, pedagang makanan dan minuman bisa bebas keluar-masuk tanpa hambatan. Pemandangan timpang ini bukan sekadar janggal, tetapi melukai akal sehat. Bagaimana mungkin pers—yang merupakan pilar demokrasi—diperlakukan seolah ancaman, sementara pedagang yang hanya mengurus konsumsi justru diberi keleluasaan?
Kritik keras datang dari Osril Limbong, pengamat sosial sekaligus bagian dari Forum Jurnalis Pemprov (FJP) dan Himpunan Insan Pers Solidaritas Indonesia (HiPSi). “Ini jelas diskriminasi. Pers adalah pilar keempat demokrasi yang dijamin Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Kalau wartawan dibatasi, itu sama saja mengebiri hak publik untuk tahu,” tegasnya.
Situasi ini makin mencuat ketika pada Jumat, 8 September 2025, Gubernur Sumut Muhammad Bobby Afif Nasution turun ke kantin kantor untuk makan bersama usai pengangkatan Syaiful sebagai Ketua Persatuan Wartawan Gubsu. Padahal, sejak dilantik, Gubernur nyaris tidak pernah menyambangi kantin. Kehadiran tersebut menimbulkan tanda tanya besar: apakah akses wartawan hanya “dibuka” saat momen simbolis tertentu, sementara pada hari-hari biasa justru ditutup rapat? Demikian disampaikan Osril Limbong pada Senin, 15 September 2025.
Sejumlah jurnalis yang biasa meliput di Kantor Gubsu turut melayangkan kekecewaan. Mereka mempertanyakan konsistensi aturan yang berlaku. “Kalau memang ada kebijakan ketat soal akses, seharusnya berlaku untuk semua pihak. Jangan wartawan dipagari, pedagang dilepas. Ini jelas pilih kasih,” ujar Jasrial Husin, salah seorang jurnalis.
Wakil Pemimpin Redaksi GeberNews.com sekaligus SuaraPrananta.com, Adi Warman Lubis, juga angkat bicara. Ia menilai pelarangan wartawan masuk adalah preseden buruk bagi keterbukaan pemerintah. “Jangan salah kaprah, kantor gubernur itu bukan ruang privat. Itu rumah rakyat. Wartawan datang bukan untuk hura-hura, melainkan menjalankan fungsi kontrol sosial sebagaimana diatur dalam UU Pers. Kalau wartawan dipagari, itu sama saja menutup akses publik terhadap informasi,” tegas Adi.
Lebih lanjut, Adi menilai kebijakan diskriminatif itu berpotensi merusak citra Bobby Nasution sebagai gubernur yang dikenal dekat dengan masyarakat. “Rakyat menunggu bukti keterbukaan, bukan sekadar slogan. Kalau pedagang bisa bebas lalu lalang, sementara wartawan diblokir, itu ironi yang mencoreng demokrasi. Jangan sampai rakyat menilai Gubernur lebih ramah pada pedagang daripada pada pers,” tambahnya.
UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 4 menegaskan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Pers memiliki hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi. Jika kebijakan di Kantor Gubsu bertentangan dengan ini, maka kebijakan tersebut jelas bermasalah dan patut dipertanyakan.
Osril Limbong menegaskan, pemerintah daerah tidak boleh menutup diri dari pengawasan pers. “Kalau wartawan dibatasi, lalu siapa yang akan menyampaikan kerja-kerja pemerintah kepada masyarakat? Jangan sampai Kantor Gubsu berubah jadi ruang eksklusif, ramah bagi pedagang tapi menutup diri dari kontrol pers,” pungkasnya.
🟥 Tim | GeberNews.com
🗣️ Mengungkap Segala Fakta