Pdt. Penrad Siagian Desak ATR/BPN Tuntaskan Sengketa Tanah Simpang Gambus: “Jangan Biarkan Rakyat Terus Tersingkir”

0
69

Jakarta | GeberNews.com – Konflik agraria yang telah membelit masyarakat Simpang Gambus, Kabupaten Batu Bara, sejak era 1960-an, kini memasuki babak baru. Senator DPD RI asal Sumatra Utara, Pdt. Penrad Siagian, mendesak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk segera mengambil langkah konkret dalam penyelesaiannya.

Desakan itu disampaikan langsung kepada Dirjen Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, Iljas Tedjo Prijono, saat pertemuan di Kantor ATR/BPN, Jakarta, Senin, 2 Juni 2025.

“Saya sudah dampingi masyarakat Simpang Gambus jauh sebelum menjabat sebagai anggota DPD RI. Ini bukan konflik baru, tapi luka lama yang terus diabaikan,” tegas Penrad dalam keterangannya, Selasa (3/6/2025).

Ia mengungkapkan bahwa masyarakat memiliki dokumen lengkap, mulai dari sejarah penguasaan lahan, keberadaan perkampungan, hingga bukti pengambilalihan paksa oleh perusahaan perkebunan PT Socfindo.

Lebih dari itu, ia mengingatkan hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) sebelumnya yang telah menyepakati penghentian sementara pembaruan Hak Guna Usaha (HGU) PT Socfindo sampai konflik diselesaikan bersama masyarakat.

“Kita punya dokumen negara. Ada keputusan bersama bahwa HGU tidak boleh diperpanjang dulu sebelum ada penyelesaian,” ungkap Penrad.

Penrad juga menyoroti bahwa masyarakat kerap dianggap tidak berkonflik hanya karena tidak melakukan perlawanan fisik. Padahal, perjuangan mereka tetap berlangsung secara damai dan bermartabat.

“Jangan sampai karena mereka tidak melawan, lalu dianggap tak ada masalah. Masyarakat ini punya sejarah, punya bukti, dan punya hak. Negara harus hadir,” ujarnya.

Komitmen ATR/BPN: Usulan Enklave 600 Hektare dan Pendekatan Sosiologis

Merespons hal itu, Dirjen Iljas Tedjo Prijono menyatakan bahwa kasus Simpang Gambus memang telah menjadi perhatian Kementerian ATR/BPN.

“Kami akan segera menindaklanjuti dan lakukan pembahasan kembali. Ini masalah serius dan sudah lama menggantung,” ucap Iljas.

Ia menegaskan bahwa sebagai institusi negara, BPN wajib menindaklanjuti aduan masyarakat, terlebih jika disampaikan melalui lembaga resmi seperti DPD RI. Menurutnya, data sejarah dari masyarakat juga perlu diperhitungkan, meski tak tercatat dalam sistem formal pertanahan.

“Data masyarakat jadi referensi penting. Meskipun tidak terekam di sistem kita, tapi sejarah mereka hidup dan nyata,” jelasnya.

Iljas juga mengusulkan agar area seluas 600 hektare yang disengketakan untuk sementara dienklave — tidak dimasukkan ke dalam proses perpanjangan HGU — sambil menunggu penyelesaian menyeluruh.

“Jika langsung diperpanjang, bisa timbulkan gejolak. Kita perlu pendekatan yang lebih manusiawi, bukan sekadar normatif,” tandasnya.

Dirjen ATR/BPN itu pun menekankan pentingnya duduk bersama seluruh pemangku kepentingan—mulai dari pemerintah daerah, DPRD, hingga masyarakat—agar konflik berlarut ini dapat diakhiri dengan solusi yang adil.

“Sudah saatnya negara memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada masyarakat Simpang Gambus. Kita harus selesaikan bersama,” tutup Iljas.

Konflik agraria ini kini menjadi simbol ketimpangan struktural dalam penguasaan tanah. Dengan dorongan dari DPD RI dan respons terbuka dari ATR/BPN, harapan masyarakat akan keadilan yang telah lama ditunda kembali menyala.

(Mabhirink Gaul)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini